Mana Yang Utama, Nafkahi Keluarga Atau Rajin Sedekah
Diantara orang yang perlu kita dengki kebaikannya (bersaing dengannya dalam hal kebaikan) yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan.
Di dalam Infak, ada diantaranya yang termasuk perkara wajib, dan ada juga yang sunah dikeluarkannya.
Dalam hal ini, kita perlu memprioritaskan perkara wajib dahulu dalam pengeluaran harta, setelah itu barulah perkara sunnahnya, atau keduanya dilaksanakan jika memang ada kelapangan harta.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan dibagi menjadi tiga:
1.Pengeluaran untuk kepentingan pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap sederhana, tidak bersifat pelit dan boros.
Nafkah seperti ini lebih afdhol dari sedekah biasa dan bentuk pengeluaran harta lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari).
2.Penunaian zakat dan hak Allah. Ada ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka telah terlepas darinya sifat pelit.
3.Sedekah tathowwu’ (sunnah) seperti nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman dekat, termasuk pula memberi makan pada mereka yang kelaparan.
Setelah merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan,
“Barangsiapa yang menyalurkan harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti tidak menyia-nyiakan harta dan telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh orang seperti ini didengki (bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5: 454, Asy Syamilah).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskan,
“Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau dalam Riyadhus Shalihin)
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Sumber: https://rumaysho.com/14683-rajin-sedekah-lupa-nafkah-keluarga.html
Baca juga:
Ilstrasi nafkah - Gambar: xcult-xcult |
Di dalam Infak, ada diantaranya yang termasuk perkara wajib, dan ada juga yang sunah dikeluarkannya.
Dalam hal ini, kita perlu memprioritaskan perkara wajib dahulu dalam pengeluaran harta, setelah itu barulah perkara sunnahnya, atau keduanya dilaksanakan jika memang ada kelapangan harta.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan dibagi menjadi tiga:
1.Pengeluaran untuk kepentingan pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap sederhana, tidak bersifat pelit dan boros.
Nafkah seperti ini lebih afdhol dari sedekah biasa dan bentuk pengeluaran harta lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari).
2.Penunaian zakat dan hak Allah. Ada ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka telah terlepas darinya sifat pelit.
3.Sedekah tathowwu’ (sunnah) seperti nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman dekat, termasuk pula memberi makan pada mereka yang kelaparan.
Setelah merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan,
“Barangsiapa yang menyalurkan harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti tidak menyia-nyiakan harta dan telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh orang seperti ini didengki (bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5: 454, Asy Syamilah).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskan,
“Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau dalam Riyadhus Shalihin)
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Sumber: https://rumaysho.com/14683-rajin-sedekah-lupa-nafkah-keluarga.html
Baca juga:
0 Response to "Mana Yang Utama, Nafkahi Keluarga Atau Rajin Sedekah"
Post a Comment